Biografi Ismail Marzuki – Dongeng Sang Maestro Musik Indonesia
Biografiku.com – Profil dan Biografi Ismail Marzuki. Pahlawan Nasional ini dikenal sebagai salah satu sang maestro musik Indonesia. Dari tangannya, banyak tercipta karya-karya lagu usaha yang hingga kini terus dinyayikan oleh rakyat Indonesia. Besarnya jasa Ismail Marzuki membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ismail Marzuki.
Biografi Ismail Marzuki

- Nama : Ismail Marzuki
- Lahir : Jakarta, 11 Mei 1914
- Wafat : Jakarta, 25 Mei 1958
- Orang Tua : Marzuki (ayah), Solechah (ibu)
- Istri : Eulis Zuraidah
- Anak : Rachmi Aziah
- Gelar : Pahlawan Nasional
Masa Kecil
Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914. Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing. Ia merupakan anak dari keluarga keturunan Betawi. Ismail Marzuki dikenal mempunyai talenta seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia merupakan anak dari pasangan Marzuki dan Solechah.
Dalam biografi Ismail Marzuki, ia terkenal sebagai cowok yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail semenjak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang dikala itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO.
Ayahnya, Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Makara tidak gila jikalau kemudian Ismail semenjak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Orang bau tanah Ismail Marzuki yakni Marzuki dan Solechah termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma’ing, semenjak bocah sudah mengatakan minat yang besar terhadap seni musik.
Pendidikan Ismail Marzuki
Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga mampu membeli piringan hitam dan gramafon yang terkenal disebut “mesin ngomong” oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Ismail Marzuki disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Nasrani HIS Idenburg, Menteng.
Nama panggilannya di sekolah yakni Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir jikalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ismail Marzuki kemudian dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, ia dibelikan ayahnya alat musik sederhana.
Bahkan tiap naik kelas Ismail Marzuki diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, ia masuk sekolah MULO dan membentuk grup band sendiri. Di situ ia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah simpulan MULO, Ismail Marzuki bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan honor 30 gulden sebulan, sehingga ia mampu menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya.
Ia kemudian pindah pekerjaan dengan honor tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.
Terjun Ke Dunia Musik
Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang ia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai kerikil loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ismail Marzuki banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ismail Marzuki memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Menciptakan Lagu Sendiri
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java menerima kesempatan untuk mengisi program siaran musik. Tapi Ismail Marzuki mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian membuat lagu-lagu sendiri antara lain “Ali Baba Rumba”, “Ohle le di Kotaraja”, dan “Ya Aini”.
Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander.
Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup band Ismail Marzuki mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh eksekutif NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ismail Marzuki mulai mempelajari banyak sekali jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, “My Hula-hula Girl”. Kemudian lagu ciptaannya “Bunga Mawar dari Mayangan” dan “Duduk Termenung” dijadikan tema lagu untuk film “Terang Bulan”.
Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi program siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ismail Marzuki malah jadi pemain musik sekaligus mengisi program lawak dengan nama samaran “Paman Lengser” dibantu oleh “Botol Kosong” alias Memet.
Karena Ismail Marzuki sangat gemar memainkan banyak sekali jenis alat musik, suatu waktu ia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru.
Setelah dokter menjelaskan pada Ismail Marzuki, kemudian alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai dikala itu pula penyakit paru-paru mengganggunya.
Membentuk Perikatan Radio Ketimuran (PRK)
Ketika Ismail Marzuki membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat.
Pada periode ini ia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia.
Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi “Panon Hideung”. Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi mempunyai intonasi Timur yakni lagu “Als de orchideen bloeien”.
Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bila Anggrek Mulai Berbunga”.
Tahun 1940, Ismail Marzuki menikah dengan penyanyi kroncong Eulis Zuraidah. Pada Maret 1942, dikala Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa.
Menciptakan Lagu Perjuangan
Saat itu Ismail Marzuki mulai memasuki periode membuat lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut menyerupai “Kalau Melati Mekar Setangkai”, “Kembang Rampai dari Bali” dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
Dalam Biografi Ismail Marzuki diketahui bahwa ada periode 1943-1944, Ismail Marzuki membuat lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain “Rayuan Pulau Kelapa”, “Bisikan Tanah Air”, “Gagah Perwira”, dan “Indonesia Tanah Pusaka”.
Kepala bab propaganda Jepang, Sumitsu, mewaspadai lagu-lagu tersebut kemudian melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ismail Marzuki sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Perjuangan Ismail Marzuki selanjutnya pada 1945 membuat lagu “Selamat Jalan Pahlawan Muda”.
Setelah Perang Dunia II, ciptaan lagu Ismail marzuki terus mengalir, antara lain “Jauh di Mata di Hati Jangan” (1947) dan “Halo-halo Bandung” (1948). Ketika itu Ismail Marzuki dan istrinya pindah ke Bandung alasannya yakni rumah mereka di Jakarta kena dihantam peluru mortir.
Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ismail Marzuki di Jakarta meninggal. Ismail Marzuki terlambat mendapatkan berita. Ketika ia datang di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk membuat lagu “Gugur Bunga”.
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa usaha yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat usaha antara lain “Ke Medan Jaya”, “Sepasang Mata Bola”, “Selendang Sutra”, “Melati di Tapal Batas Bekasi”, “Saputangan dari Bandung Selatan”, “Selamat Datang Pahlawan Muda”.
Lagu hiburan terkenal yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana cerita usaha kemerdekaan. Misalnya syair lagu “Tinggi Gunung Seribu Janji”, dan “Juwita Malam”.
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibentuk ringan dalam bentuk populer, tidak memakai bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair “Oh Kopral Jono” dan “Sersan Mayorku”.
Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara terkenal tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu “Aryati”, “Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 ia masih mencipta lagu “Irian Samba” dan tahun 1957 lagu “Inikah Bahagia” — suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ismail Marzuki masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair.
Ismail Marzuki Wafat
Hingga Ma’ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958. Peran Ismail Marzuki terhadap sejarah musik Indonesia sangat vital, khususnya lagu-lagu usaha yang ia ciptakan.

Jasa Ismail Marzuki tersebut membuat pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Ismail Marzuki bahkan diabadikan ke dalam daerah sentra kesenian dan kebudayaan yang berjulukan Taman Ismail Marzuki.
Karya Lagu Ismail Marzuki
- Aryati
- Gugur Bunga
- Melati di Tapal Batas (1947)
- Wanita
- Rayuan Pulau Kelapa
- Sepasang Mata Bola (1946)
- Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
- O Sarinah (1931)
- Keroncong Serenata
- Kasim Baba
- Bandaneira
- Lenggang Bandung
- Sampul Surat
- Karangan Bunga dari Selatan
- Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
- Juwita Malam
- Sabda Alam
- Roselani
- Rindu Lukisan
- Indonesia Pusaka
Komentar
Posting Komentar